Santri
Tirakat, NU Online
Para pencari ilmu atau santri yang mondok di pesantren perlu memperkuat
riyadlah atau tirakat. "Ulat yang ingin menjadi kupu-kupu pun melakoni
jalan tirakat. Manusia pun harus begitu."
Demikian dikatakan KH Mahrus Ali dalam Tahtiman Pesantren ‘Roudlotul
Huda’ dan ‘Roudlotul Hidayah’ desa Margoyoso kecamatan Kalinyamatan,
Jum’at sore (06/7) kemarin.
Menurut Ketua PC LDNU Jepara itu, ulat yang kelak menjadi kupu-kupu
adalah sebuah proses yang meski dilalui. "Dalam berproses tentu akan
menemui banyak kendala. Begitu pun dengan seorang santri yang mondok.
Riyadlah juga perlu dilakukan sehingga kelak akan menuai hasilnya,"
jelasnya.
Kiai Mahrus menyebut tiga hal yang wajib dilakukan santri. Pertama,
Takhalli. Artinya, sebagai santri jasmani dan rohaninya harus bersih dan
terhindar dari sifat madmumah (tercela). Berkait hal itu, ia
menyontohkan tumbuhnya ilmu dalam pribadi seorang berbada-beda. Hal itu,
terkait kualitas santri masing-masing.
“Ilmu itu termasuk barang yang suci. Ia suka ditempat yang suci. Jika
ilmu menempati orang yang tidak suci maka ilmu tidak kerasan
menempatinya,” paparnya.
Dia bercerita, auatu ketika, ada seorang santri mondok selama tujuh
tahun. Tetapi pelajaran yang santri peroleh belum ada yang nyantol sama
sekali. Akhirnya, santri ngaji lagi dengan kyai Mahrus. Usut punya usut
ternyata si santri punya kebiasaan mengintip santri putri saat sedang
mandi.
Ia juga memberikan contoh lain tentang sucinya ilmu. Seorang santri yang
tidak terima diingatkan kyainya lantaran mengenakan pakaian yang tipis.
Dilain hari kyai melakukan hal sama dan santri gantian yang
mengingatkan kyai. Juga Simbah Ma’shum yang perokok berat apabila
melihat santrinya merokok malah diharamkan.
“Semua yang disampaikan dan dilakukan kiai ada maksud tersendiri.
Sebagai santri tidak perlu berprasangka buruk kepada kiainya,” jelasnya.
Kedua, Tahalli. Sebagai santri hendaknya menghiasi diri dengan sifat
mahmudah (terpuji). Ketiga, Tajalli. Santri harus terbuka mata hatinya
menerima nikmat yang diberikan Allah SWT.
Malam harinya, di tempat yang sama diadakan Haflah Attasyakur Lil
Ihtitam dengan menghadirkan KH Syarafuddin dari Rembang. Dalam
taushiyahnya santri tidak perlu khawatir akan jadi apa dan makan apa.
Yang terpenting baginya adalah ilmu yang berkah dan manfaat.
“Rizki sudah ada jatahnya masing-masing. Sebab pembagian rizki sudah
ditanggung oleh Allah SWT. Rizki ada yang paten ada juga yang bonus,”
ungkapnya.
Ayam sebagaimana ia menyontohkan tidak pernah mengeluh untuk mencari
makan. Dapat apapun ia terima. Oleh karena itu, semua lanjutnya hendak
dihaturkan kepada Allah.
Dihimpun oleh Kiyai Sayyidah
Budaya Tirakat dan Santri Masa Kini.
Pada suatu hari, saya ditelpon teman lama dari desa. Katanya, dia sedang
menjalankan sebuah ritual tirakat di komplek pemakaman para wali kuno,
Segoropuro Pasuruan. Dalam rangka mendapatkan ilmu agama (jadi orang
alim) dengan jalan pintas tanpa pendidikan formal. Konon, katanya dia
adalah santri yang frustasi terhadap pendidikan formal. Sebab, dia
merasa sebagai orang yang paling bodoh di pesantrennya.
Asta Segoropuro adalah sebuah komplek pemakaman umum para wali kuno,
seperti Sayyid Arif, dan lainnya. Asta dan gua memang biasa menjadi
tempat khusus bagi mereka yang menyepikan diri dari keramaian dunia.
Kalau di Madura tempat-tempat semacam itu seperti, pasarean Syakhuna
Kholil Bangkalan, Asta Tinggi Sumenep, Sayyid Yusuf Talango, dan
lainnya.
Merujuk pada sejarah, menyepi dalam tradisi Islam dikenal dengan Uzlah
atau khalwat, dan sudah muncul sejak zaman para nabi, sekaligus banyak
dilakukan oleh para ulama klasik terutama ketika sistem kepemimpinan
Islam berganti dalam bentuk dinasti yang rajanya diangkat dengan sistem
keturunan. Dimana saat itu orang-orang, baik dari kalangan pejabat,
ilmuwan, lebih-lebih golongan agamawan banyak yang kecewa terhadap
sistem tersebut yang cenderung disesakkan oleh urusan politik, perebutan
kekuasaan, dan serba kesenangan dunia. Akhirnya mereka lebih memilih
sikap hidup dengan mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi menghususkan
diri hanya untuk bertaqarrub kepada Allah SWT.
Konon, gaya hidup mistis bermotif politik itu disinyalir menjadi salah
satu sebab kemunduran kejayaan Islam, lebih-lebih setelah tumbangnya
dinasti Abbasyiah. Dalam Islam orang yang ber-khalwat tersebut dikenal
dengan sufi atau darwis.
Sebagaimana dalam kitab klasik para ulama sepakat, bahwa jalan (Tarekat)
menuju Allah itu ada empat cara: pertama, duduk di tengah-tengah
manusia dan mengajak mereka kepada kebenaran seperti, menjadi guru dan
muballig. Kedua, memperbanyak ibadah-ibadah formal, seperti memperbanyak
dzikir, sholat, dan puasa. Ketiga, Menjadi abdi
(pembantu/khoddam/ngebuleh) para ahli agama atau fuqaha. Dan keempat,
mencari nafkah yang halal demi kebutuhan keluarga sehari-hari. Nah,
jalan yang kedua itulah yang ditempuh oleh mereka yang bertirakat.
Selain itu, ada juga yang bertujuan hanya untuk mendapatkan ilmu-ilmu
dunia, kesaktian, kedigdayaan, senjata-senjata kramat, dan sejenisnya.
Biasanya dilakukan oleh orang yang mengalami persoalan terlalu rumit
dalam hidup atau frustasi. Seperti ingin kaya pintas, kebal, dan
sejenisnya yang lebih bersifat kedunawian. Tujuan ini terjadi di
tengah-tengah masyarakat pada umumnya.
Dalam dunia pesantren istilah tirakat menjadi khasanah dan lumrah. Biasa
dilakukan oleh sebagian santri sekaligus kiai. Bahkan ada sebuah
pesantren yang sistem dan orientasi pendidikannya mengacu pada ajaran
tirakat; semacam mengamalkan puasa mutih atau menyepi di asta sesepuh
kiai dengan mengamalkan bacaan-bacaan khusus yang di-jaza’ oleh kiainya.
Dan biasanya, tujuannya adalah ingin memperoleh kecerdasan atau
kualitas diri tanpa melalui usaha akademik formal, seperti ilmu ladunni.
Disamping itu, secara umum ada juga yang dilakukan di masjid-masjid
atau musholla. Sekaligus ada yang berbentuk sejenis organisasi resmi
seperti, tarekat tijaniyah, dan lainnya.
Mengingat fenomena di atas, saya menjadi ingat dan sangat tertarik
kepada pandangan seorang penulis pada rublik yang sama yang menyinggung
soal ini, “melejitkan Intelejensi dengan jampi-jampi”. Yaitu ketika dia
berandai, dengan hanya membaca jampi-jampi (baca; sekitar tirakat) orang
menjadi pintar tanpa baca buku dan sekolah formal, yang diperkuat
dengan penemuan penelitian-penelitian tentang adanya pengaruh kuat
bacaan-bacaan mistis terhadap partikel air. Dan saya percaya pembuktian
dan pandangan tersebut.
Hal tersebut memang biasa dilakukan dalam dunia pesantren. Hanya saja,
ketika saya melihat situasi dan kondisi zaman sekarang, saya berpikir:
Apakah pantas kiranya di zaman yang serba canggih, sistematis, dan
rasional ini (baca: modern) kita butuh tirakat semacam yang
mistis-mistis tersebut. Bayangkan saja, bila ada seorang santri masa
sekarang dengan kesibukan akademik formal yang dia jalankan setiap hari
di pesantrennya; pelajaran kelas yang super full pagi siang; masih ada
acara ekstrakurikuler; lalu acara-acara kelompok pilihan; belum lagi
tugas-tugas organisasi dan pribadi yang harus diselesaikan. Mampukah dia
melakukan semuanya dengan puasa mutih setiap hari atau dengan
amalan-amalan doa yang banyaknya tidak cukup dibaca lima jam. Saya yakin
santri tersebut akan loyo dan klenger. Bagaimana tidak, perutnya kosong
dan sibuk hanya mengamalkan amalan-amalan abakadabra yang tidak boleh
tidak-dan kalau tidak-akan sia-sia bahkan menjadi gila. Akhirnya, dia
akan menjadi generasi yang lembek, bodoh, dan ketinggalan.
Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita, bahwa orang muslim sejati
(lebih-lebih santri sebagai generasi) adalah “dia yang di siang seperti
penunggang-penunggang kuda yang gagah berani dan di malam hari seperti
para rahib yang khusu’ bermunajat kepada Tuhannya”. Artinya, para santri
sejati adalah mereka yang di siang hari menjadi pencari dan pejuang
ilmu yang gagah berani, penuh usaha keras, belajar serius, niat yang
lurus dan cita-cita yang tinggi. Untuk itu, dia harus cukup makan penuh
gizi agar mampu usaha keras dan belajar serius, sekaligus bangun di
malam hari dengan dzikir dan tahajjudnya (syahirullayali). Akhirnya dia
akan menjadi generasi yang kuat, gagah, cerdas, sekaligus alim.
Subhanallah. Saya kira begitulah seharusnya tirakat santri dalam konteks
modern ini. (Pernah dimuat di Radar Madura, Jawa Pos Group).
Dihimpun oleh Kiyai Sayyidah
HUKUM PUASA PATI GENI DAN TIRAKAT
http://www.piss-ktb.com
PERTANYAAN
Puasa mutih, Puasa ngrowot,Puasa patigeni, boleh apa tidak??
Apakah tidak termasuk wishol yang dilarang?
JAWABAN
Setiap puasa yang dilakukan sesuai dengan hukum syara’ yang tidak
tuntunan pelaksaannya, masuk dalam kategori puasa sunah mutlak, dan
niatnya adalah puasa mutlak. Dengan demikian, selama pelaksanaan puasa
patigeni tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam agama, maka puasa
tersebut termasuk puasa sunah mutlak.
أسنى المطالب - (ج 5 / ص 281)
( وَتَكْفِي نِيَّةٌ مُطْلَقَةٌ فِي النَّفْلِ الْمُطْلَقِ ) كَمَا فِي
نَظِيرِهِ مِنْ الصَّلَاةِ ( وَلَوْ قَبْلَ الزَّوَالِ لَا بَعْدَهُ ) {
لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعَائِشَةَ
يَوْمًا هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاءٍ قَالَتْ لَا قَالَ فَإِنِّي إذًا
أَصُومُ قَالَتْ وَقَالَ لِي يَوْمًا آخَرَ أَعِنْدَكُمْ شَيْءٌ قُلْت
نَعَمْ قَالَ إذًا أُفْطِرُ وَإِنْ كُنْت فَرَضْت الصَّوْمَ } رَوَاهُ
الدَّارَقُطْنِيُّ وَصَحَّحَ إسْنَادَهُ
“Dalam puasa sunah mutlak (yang tidak terkait dengan puasa wajib
dan sunah), cara niatnya cukup dengan niat yang mutlak (umum),
sebagaimana niat pada salat sunah mutlak. Meskipun letak niatnya sebelum
dzuhur, dan tidak boleh setelah dzuhur. Karena Rasulullah Saw suatu
hari berkata pada Aisyah: “Apa ada sarapan pagi?” Aisyah menjawab:
“Tidak ada.” Nabi berkata: “Kalau begitu saya puasa.” Aisyah
menyebutkan: Suatu hari yang lain Nabi bertanya pada saya: “Apa ada
sarapan pagi? Saya menjawab:“Ada.” Nabi berkata:“Kalau begitu saya tidak
puasa, meski saya perkirakan berpuasa.”
Puasa patigeni (puasa 24 jam) tidak termasuk puasa wishal yang
dilarang oleh Rasullah Saw. karena puasa wishal yang dilarang adalah
berpuasa selama 2 hari (48 jam).
المجموع - (ج 6 / ص 357-359)
وعن ابي سعيد الخدرى انه سمع النبي صلي الله عليه وسلم يقول " لا تواصلوا
فأيكم ارد ان يواصل فليواصل إلى السحر قالوا فانك تواصل يارسول الله قال
إنى لست كهيأتكم اني ابيت لى مطعم يطعمنى وساق يسقيني " رواه البخاري
قال أصحابنا وحقيقة الوصال المنهي عنه أن يصوم يومين فصاعدا ولا يتناول في
الليل شيئا لا ماء ولا مأكولا فان أكل شيئا يسيرا أو شرب فليس وصالا وكذا
إن أخر الاكل الي السحر لمقصود صحيح أو غيره فليس بوصال وممن صرح بأن
الوصال أن لا يأكل ولا يشرب ويزول الوصال بأكل أو شرب وان قل صاحب الحاوى
وسليم الرازي والقاضى أبو الطيب وامام الحرمين والشيخ نصر والمتولي وصاحب
العدة وصاحب البيان وخلائق لا يحصون من اصحابنا
“Rasul bersabda: Janganlah kalian melakukan puasa wishal. Barangsiapa
diantara kalian ingin melakukan wishal, maka lakukanlah hingga waktu
sahur (sehari semalam). Para sahabat bertanya: Anda juga melakukan
wishal, wahai Rasul? Rasul menjawab: Saya tidak sama dengan kalian. Di
saat malam, ada yang memberi makan dan minum kepada saya.” (HR Bukhari)
Para ulama madzhab Syafii menjelaskan bahwa hakikat puasa wishal yang
dilarang adalah puasa dua hari atau lebih tanpa mengkonsumsi makanan dan
minuman. Jika seseorang mengkonsumsi makanan atau minuman sedikit saja,
maka tidak disebut wishal. Diantara ulama yang menjelaskan bentuk puasa
wishal seperti definisi ini adalah Al Mawardi, Salim Al Razi, Qadhi Abu
Thayyib, Imam Haramain dan lain lain.
اسعاد الرفيق 2- 14
ومنها اى معاصى البدن الوصال فى الصوم ولو نفلا للنهى عنه وفسره فى
المجموع نقلا عن الجمهور بان يصوم يومين فاكثر من غير تناول مطعوم عمدا
بلاعذر ...الى ان قال... قال الرويانى ولو فعل الوصال لا على قصد التقرب به
لم يأثم كما فى الفتح واصله .
“Diantara perbuatan maksiat tubuh adalah puasa wishal meskipun untuk
puasa sunah. Sebab Rasulullah melarang jenis puasa seperti ini.
Sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’nya, puasa
wishal adalah puasa selama dua hari atau lebih tanpa mengkonsumsi
makanan secara sengaja dan tanpa udzur…. Imam Ruyani mengatakan bahwa
bila seseorang melakukan puasa wishal tanpa bertujuan mendekatkan diri
kepada Allah, maka dia tidak berdosa (boleh).”
Dihimpun oleh Kiyai Sayyidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar